Sabtu, 19 Mei 2012

Sepenggal Kisahku Bersama Ibu

Hari itu, kau memintaku untuk membelikanmu kerudung berwarna putih.
Ku berjanji akan membelikannya sepulang kuliah.
Tapi entah mengapa aku tak kunjung mendapatkan kerudung seperti yang kau inginkan.
Seminggu berselang, aku masih belum mendapatkannya, hingga akhirnya aku membelikanmu kerudung berwarna hitam.
Entah apa yang ada di pikiranku, aku hanya membayangkan wajah ibu yang cantik jika memakai kerudung itu.
Satu hal yang tak pernah kubayangkan, kerudung putih itu adalah permintaan terakhirmu padaku.
Tak pernah pula terlintas di benakku, kau pergi untuk selamanya tanpa sempat memakai kerudung itu. Menjelang hari terakhirmu di dunia, kau begitu memanjakanku, membelikan segala yang pernah kau janjikan padaku, memberikan segala apa yang ku mau, bahkan sampai mencucikan bajuku, tanpa aku sadar, itulah saat-saat terakhirku bersamamu.
Bahkan hingga ajal menjemputmu, kau masih memikirkan masa depanku.
Masih kuingat jelas kalimat terakhir yang kau ucapkan padaku: " Pulanglah, belajar di rumah."
Ya, saat itu memang aku sedang menghadapi Ujian Akhir Semester.
Dengan berat hati aku pun pulang, padahal aku ingin sekali menungguimu dan merawatmu di rumah sakit itu. Walaupun nyatanya, di rumah aku sama sekali tak bisa belajar.
Buku teks kimia anorganik yang ku pegang hanya ku bolak-balik tanpa aku mengerti apa sebenarnya yang aku baca.
Walaupun nyatanya, keesokan hari aku pun tak bisa mengikuti ujian mata kuliah kimia anorganik karena engkau pulang ke rumah.
Satu hal yang menyesakkan dadaku, kau pulang dengan diantar mobil jenazah.
Aku ikhlas ibu, walaupun air mata ini begitu deras mengalir.
Ketika aku mulai bisa menahan air mata ini, siang hari setelah pemakamanmu, Mak Mis menemuiku dan menyerahkan selembar uang seratus ribuan dan berkata: "Ini titipan dari ibumu, dia bilang ini uang yang dia pinjam darimu kemarin."
Oh ibu...semakin deras mengalir air mataku, sempat-sempatnya kau mengingat uang yang kemarin memang kau pinjam dariku.
Padahal uang yang aku pegang sebenarnya adalah uangmu jua.
Padahal uang seratus ribu itu sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan segala pengorbananmu padaku.
Ibu...bila aku pulang ke rumah, tak kutemui lagi wajah cantik nan teduhmu yang menyambutku dengan senyuman.
Bagaimana bila aku rindu pelukanmu, bagaimana bila aku rindu nasehat dan belaian tanganmu.
Tertatih ku menuju tempat peristirahatan terakhirmu.
Walaupun yang ku temui disana, hanyalah gundukan tanah merah berhiaskan batu nisan bertuliskan namamu... Ibu...kau kan selalu ada di hatiku...


Ditulis di tengah suasana malam yang damai di Perancak, 21 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar